“Saya sangat terkesan dengan negeri kelahiran saya.
Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan seindah Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya.
Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu.” (Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka).
Danau Maninjau
INILAH pernyataan seorang putera asli kelahiran Sungai Batang. Negeri di tepian danau Maninjau di Kec. Tanjung Raya, Kabupaten, Agam, Sumatera Barat. Salah satu kaldera gunung purba pulau Sumatera di masa lalu yang keindahan dan kesuburannya, telah menyumbangkan begitu banyak putera-putera terbaik bagi pembangunan negara ini, sejak dahulu hingga kini.
Kelok 44
Tercatat sejumlah nama para inspirator dan pembaharu negara ini, lahir atau dibesarkan dari rahim nagari-nagari (sebutan desa atau kampung) di tepian danau Maninjau. Menyebut beberapa nama saja, misalnya DR.H.Karim Amarullah (pembaharu Islam Abad 19), Buya Hamka (ulama besar dan mantan Ketua MUI serta pahlawan nasional), Muhammad Nasir (mantan Perdana Menteri, Ketua Masyumi dan pendiri DDII), Isa Anshary (politisi muslim Masyumi).
Ada pula Buya AR Sutan Mansur (Ketua dan Tokoh Muhammadiyah), Muhammad Nazir (Laksamana TNI AL dan pendiri Akademi AL), Rasuna Said (tokoh pendidikan dan emansipasi wanita), R. St. Pamuntjak (diplomat ulung), Syafruddin Prawiranegara (mantan Perdana Menteri PDRI dan Menteri Keuangan), Marzuki Yatim (mantan Menteri), Kaharuddin (mantan Gubernur Sumbar) serta Nur Sutan Iskandar (sastrawan). Atau yang terkini, misalnya mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, akademisi ITB Yasraf Amir Piliang dan novelis terkenal Ahmad Fuadi.
Kesana lah aku dan keluarga mudiak (pulang kampung) untuk bertemu keluarga yang masih ada. Plus menikmati keindahan danau Maninjau serta merasakan berbagai sensasi tak terlupakan dari negeri itu, usai Idul Fithri 1434H lalu. Aku merekam kuat perjalanan itu dan menyajikannya kepada pembaca, sebagai bekal, jika nanti berkesempatan mengunjungi negeri nan elok itu.
Menuju Maninjau
Dari Medan via jalan darat, saat sampai di kota Lubuk Sikaping, ibu kota Kabupaten Pasaman, ada dua lintasan yang bisa digunakan. Di hari biasa, Anda bisa menuju Maninjau via Bukittinggi, dengan lebih dulu melintasi Bonjol (kota khatulistiwa) serta Palupuh (kecamatan heroik di masa perjuangan kemerdekaan). Dari Bukittinggi menuju Padang, setibanya di Padang Luar, berbeloklah ke kanan menuju Matur. Dari Matur, Anda akan menemukan sensasi kelok 44 yang terkenal itu, sebelum tiba di nagari Maninjau.
Namun, saat liburan (Idul Fithri, Idul Adha, dsb), jangan coba-coba melintasi jalur ini. Dipastikan akan terjebak dalam kemacatan parah. Melintaslah di jalan alternatif dari Lubuk Sikaping menuju Lubuk Basung (ibu kota Kab. Agam) via Padang Sawah. Meski jalan ini kecil, tapi cukup nyaman. Bahkan, jarak tempuh bisa dipersingkat hingga 40 km. Dari Lubuk Basung, kita akan langsung menuju Muko-muko di tepian danau Maninjau.
Di pinggiran jalan kedua lintasan itu, kita akan disuguhi pemandangan indah berupa deretan perbukitan, persawahan, rumah bagonjong (rumah adat Minang) serta tabek (kolam) yang menyejukkan mata. Kami memilih lintasan kedua, menuju Maninjau, karena arah Bukittinggi kabarnya macat total.
Muko-muko salah satu nagari di tepian danau Maninjau. Desa ini terkenal dengan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) yang memasok listrik untuk Kab. Agam, Padang Pariaman hingga Padang. Di sini, Anda bisa memanjakan keluarga dengan water park yang berada di areal sungai muko-muko, pintu keluar air danau Maninjau.
Dari nagari Muko-muko menuju nagari Maninjau, jarak tempuhnya sekira 30 menit. Diperjalanan Anda akan melintasi sejumlah nagari dengan hamparan sawah dibatasi perbukitan di sisi kiri. Di sisi kanan, terlihat lautan air tawar dengan keramba menjorok ke tengah danau. “Tak muak-muak mata melihat pemandangan ini,” kata Paktuo Muhammad Nur, 80, pedagang buah Tebingtinggi, lahir di nagari Galapung, yang ikut rombongan kami.
Sebelum memasuki nagari Maninjau, kita akan melintasi kampungnya Bachtiar Chamsyah dan keluarga pengusaha asal Medan Muhammad Arbie (Garuda Hotel Group), bernama nagari Bayur. Kampung ini relatif lebih maju dibanding nagari-nagari lain selingkar dana Maninjau. Pusat ekonomi Bayur disebut dengan ‘Pakan Rabaa,’ yang pekanannya setiap hari rabu. Namun, geliat ekonomi di Bayur tidak hanya saat Pakan Rabaa, tapi sepanjang hari, karena ditempat ini juga, ada pusat transaksi hasil danau Maninjau, yakni ikan mujair.
Ikan mujair, merupakan hasil ternak keramba yang terkenal dari danau Maninjau. Rata-rata panen dari usaha itu di selingkar danau, bisa mencapai 60 ton per hari, terang Menan, 65, warga pemilik keramba di Bayur. Ikan mujair danau
Maninjau disukai, karena rasa dagingnya berbeda dengan mujair kolam. “Mujair sini tak bau lumpur, dan bersih” terang dia.
Hasil keramba ini, memenuhi pasar ikan di berbagai kota besar, mulai dari Padang, Bukittinggi, Pekan Baru hingga ke Jambi dan Medan. “Kalau melihat mujair yang hitam pekat dan besar, itu asalnya dari sini,” ujar seorang peternak keramba.
Di kampung ini juga, ada masjid Raya Bayur, masjid terbesar di Kec. Tanjung Raya yang mampu menampung 1.000 jemaah. “ Masjid ini dibangun parantau Bayur yang sukses,” ujar seorang pedagang di depan masjid itu. Ornamen masjid itu unik, karena ditata menggunakan model masjid-masjid Minang di masa lalu. Misalnya kubah masjid yang terlihat khas, berupa ornamen gabungan budaya Minang dan Islam.
Kalau lasak sedikit, Anda bisa mengunjungi kediaman keluarga mantan Mensos RI Bachtiar Chamsyah. Lokasi kediamannya agak ke atas dari lintasan jalan Bayur. Rumah itu berada di tengah hamparan sawah yang masih didiami keluarga mantan politisi PPP itu.
Kami melintasi sebuah kampung antara Maninjau dan Bayur,yang menjadi lokasi destinasi wisata. Di kampung Gasang ini, banyak ditemukan pemandian, hotel dan homestay untuk wisatawan. Selain cafe dan restoran serta lapak pedagang yang menjual aneka buah tangan dari hasil danau Maninjau. Misalnya, bada masiak (ikan asli danau Maninjau yang diasapi), rinyuak (sejenis ikan teri halus yang sering dijadikan peyek dan perencah gulai) atau ikan mujair asap.
Ikan bada masiak, rinyuak dan mujair asap, dijual eceran. Cukup dengan mengeluarkan kocek Rp20 ribu Anda akan mendapatkan panganan itu sekira 500 gram. Ada juga peyek rinyuak yang khas menemani perjalanan, seharga Rp10 ribu/bungkus.
Terdapat pula aneka makanan dan kue-mue asli Minang di jual di tepian jalan. Jika musim durian (biasanya bulan Juli-Agustus), buahan beraroma sengit itu, sangat istimewa di kampung selingkar danau Maninjau, karena durian Maninjau menjadi salah satu buah terbaik di ranah Minang.
Lima tahun lalu, ada tempat pemandian air panas di nagari Gasang. Sumber airnya berasal dari perut perbukitan. Tapi tempat itu, tidak terlihat lagi. Entah sudah hilang, akibat gempa beberapa tahun sesudahnya. Sesampai di Maninjau, aku langsung menuju kampung halaman orang tua di nagari Galapung. Besok aku bertekad menyusuri kembali nagari di sekeliling danau itu.
Warisan Yang Nelangsa
Tak jelas sejak kapan nagari-nagari selingkar danau Maninjau pertama kali dihuni. Tapi dari berbagai keterangan dan fakta yang dihimpun, tanah ini sudah ditinggali sejak berabad-abad lalu. Amir Sjarifoeddin Tj. A, penulis buku ‘Minangkabau, Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol,’(2012), menyebutkan Maninjau menjadi salah satu bagian dari Luhak nan tigo, yakni Luhak Agam. Sehingga Maninjau termasuk dalam wilayah inti dari ranah Minangkabau.
Keesokan hari, dari nagari Galapung, aku langsung mendatangi nagari Buya Hamka. Ternyata, hingga kini, warisan kerajaan yang pernah berkuasa di Maninjau di masa lalu, masih bisa ditemukan di Sungai Batang. Aku sempat melihat istana lama serta kediaman datuk/wali nagari/penghulu nagari selingkar Maninjau, berada di nagari Sungai Batang Ateh. Istana itu terbuat dari kayu keras yang kokoh dan diperkirakan berusia lebih dari 2 Abad. Namun, bangunan itu terlihat kusam dan tidak terurus, didiami keluarga dari penghulu itu. Saat kusambangi, bangunan itu terkunci. Dari keterangan, keluarga itu lagi pergi ke luar daerah.
Dari istana itu, hamparan danau Maninjau bisa dilihat sejauh mata memandang. Ke ramudiak (arah hilir) ada dua rumah gadang lain, yakni kediaman holf bestuur (asisten wedana) Sungai Batang yang kini masih ditinggali keturunannya. “Dulu kantornya masih ada, pas disamping rumah, tapi sudah rubuh,” ujar guide kami, yang mengaku pengurus Perpustakaan Buya Hamka.
Dulu nagari Sungai Batang ramai, tambah mantan jurnalis yang minta namanya tak dimuat. Namun sesudah terjadi peristiwa pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) 1958-1960, kampung itu berubah sunyi dan ditinggal warganya.
Aku, sempat diajak melihat lokasi pertempuran antara TNI dengan tentara PRRI di sekitar Sungai Batang. Guide itu, menunjukkan padaku perbukitan yang jadi markas TNI serta diinformasikan pula sejumlah gua di lereng bukit yang jadi markas tentara PRRI. “Di sini pertempuran antara TNI dan PRRI sengit, bekas-bekasnya masih ada,” ujar dia.
Saat berjalan, guide kami nyeletuk; “Jangan lihat Sungai Batang sekarang ini. Sebelum PRRI ramai. Tapi sekarang macam kota mati. Banyak rumah dan lahan yang ditinggal,” terang dia. Dicontohkannya kemasyhuran Sungai Batang, yakni keberadaan maktab ‘Ihya Ulumuddin’ yang didirikan DR. H. Karim Amarullah, tempat dimana Buya Hamka awalnya dikenalkan dengan ajaran Islam.
Di masa lalu, dia mengisahkan, banyak santri dari manca negara, mulai Malaysia, Thailand hingga Filiphina bersekolah di maktab itu. Alasannya, maktab itu menjadi batu loncatan untuk bisa diterima di University Al Azhar Kairo, Mesir. Di masa Menteri Pendidikan Daoed Yoesoef, maktab itu berubah status menjadi madrasah tsanawiyah, sehingga kemasyhurannya hilang. “Ini salah satu cara pemerintah merusak sistem pendidikan Islam di sini,” ujar guide itu, dengan nada sinis.
Tak hanya itu, aku juga mengunjungi sejumlah tempat yang menjadi warisan para inspirator dan pembaharu dari Maninjau. Di antaranya, rumah kediaman dan perpustakaan Buya Hamka, tempat kelahiran Nur Sutan Iskandar, tempat kelahiran Rasuna Said. Rumah tua dan surau (mushalla) DR.H. Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), masjid Syekh Amarullah (buyut Buya Hamka) dan rumah Muhammad Nasir.
Di perpustakaan Buya Hamka Sungai Batang, aku menyempatkan diri melihat sejumlah foto dokumentasi ulama yang terkenal hingga ke manca negara itu. Di rumah itu, masih bisa dilihat tempat tidur, kursi/meja dan tongkat Buya Hamka. Ada juga sejumlah foto dokumentasi ulama yang wafat pada 1980 itu. Juga dokumentasi foto sejumlah ulama pembaharu Islam (kaum muda) asal Minangkabau, misalnya Syekh Ahmad Khatib, Zainuddin El Labay, Syekh M. Jamil Jambek, Syekh M. Thahir Jalaluddin Al Azhary serta DR. H. Karim Amarullah.
Penjaga perpustakaan Safaruddin Imam Batuah, mengatakan rata-rata pengunjung perpustakaan itu berkisar 10-20 orang/hari. Di hari-hari besar, misalnya Idul Fithri pengunjung bisa membludak. Wisatawan yang datang juga berasal dari berbagai daerah dan mancanegara. Beberapa keluarga berlogat Melayu, diperkirakan berasal dari Malaysia, terlihat mengunjungi perpustakaan itu.
Saat asik mengamati perpustakaan itu, salah seorang pengunjung bertanya kepada penjaga pustaka itu. “Ada foto keluarga Hamka bernama Wadud? “ ujar tamu itu. Sontak, wajah Safaruddin, terlihat berubah. Perubahan itu, bisa aku tangkap. Penasaran, aku memburu tamu yang bertanya itu, siapa gerangan orang bernama Wadud itu.
Terungkaplah sebuah kisah yang berusaha disembunyikan selama ini. Wadud, merupakan adik tiri Hamka lain ibu yang murtad masuk Kristen, ketika dia merantau ke Amerika. Ketika Wadud pulang ke kampung, masyarakat Maninjau heboh, karena adik Hamka itu melakukan missi Kristenisasi di ranah Minang. “Wadud ini sempat membuat heboh dan dia diusir, karena menjalankan Kristenisasi di Padang,” ujar tamu itu.
Tahun 2005 lalu, Wadud meninggal di Amerika. Namun, dari keterangan Safaruddin, Wadud dibuang dari keluarga Amarullah, karena berpindah agama. Saudara Hamka itu berasal dari istri DR. H. Karim Amarullah bernama Hindun. Namun, bukan anak kandung DR.H. Karim Amarullah, melainkan anak tiri.
Kembali ke awal cerita. Perpustakan Buya Hamka ini didirikan atas prakasa ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). “Inilah fakta bagaimana orang luar menghargai Buya Hamka, sementara negeri sendiri mengabaikannya,” keluh Safaruddin. Hingga kini, terang dia, perpustakaan itu didanai ahli waris, melalui penjualan buku-buku Buya Hamka mencapai 137 judul. Belakangan diakui perhatian pemerintah mulai ada pula. Namun, di perpustaakn itu cuma terlihat belasan judul buku saja. Salah satunya ‘Tafsir Al Azhar’ yang fenomenal itu.
Aku membeli buku Hamka berjudul ‘Tasawuf Modern’ sebagai kenang-kenangan. Harganya mahal, untuk satu buku dengan kualitas cetak yang buruk, satu makalah stensilah Hamka yang digabung plus satu novel Nur Sutan Iskandar ‘Salah Pilih’, aku harus merogoh kocek Rp200 ribu. Tapi aku maklum, karena dana itu juga diperuntukkan merawat warisan sang inspirator itu.
Nasib warisan yang lebih trragis, justru terlihat di tempat kelahiran sastarawan angkatan pujangga baru Nur Sutan Iskandar. Tempat kelahirannya yang juga di nagari Sungai Batang itu, hanya dipugar sekali, yakni pada 1996. Rumah tua keluarga itu, kelihatan kian ringkih di makan usia.
Di beranda rumah itu, ada taman bacaan masyarakat (TBM) Nur Sutan Iskandar. Pengelola TBM Jusni, 25, mengaku dari 82 judul tulisan Nur Sutan Iskandar, hanya terdapat 14 judul saja koleksi di TBM itu. “Itupun merupakan bantuan Baperasda Sumbar. Sekali saja dibantu, sampai kini ndak ado lai,” ujar mantu dari cucu novelis masa lalu itu. Prihatin dengan kondisi TBM itu, saya memberikan saran-saran mengembangan TBM dan memberikan hadiah beberapa buku yang saya bawa.
Di perjalanan dari Sungai Batang menuju Maninjau, aku menyempatkan diri berziarah ke makam dan kediaman DR.H.Karim Amarullah serta Syekh Amarullah (ayah dan buyut Buya Hamka). Makam keduanya berada di halaman rumah, terlihat masih terawat. Saat ini, rumah itu ditinggali kerabat Hamka. Di dalam hanya terlihat peralatan rumah tangga dan sejumlah buku tua di atas rak ruang tamu serta foto keluarga dari masa lalu lengket di dinding rumah.
Selain itu, juga mengunjungi masjid Taqwa Syekh Amarullah di Sungai Batang Ateh. Sayangnya di masjid yang baru direnovasi itu, aku tak mendapatkan keterangan apapun. Tapi posisi masjid yang berada dibawah istana Maninjau yang kuceritakan di atas. Aku yakin masjid itu dulunya rumah ibadah resmi dari kenagarian Maninjau/Sungai Batang.
Aku juga menyempatkan sholat zhuhur di masjid raya Bancah, kampung di antara Sungai Batang dan Maninjau. Masjid ini salah satu yang tertua di selingkar danau Maninjau, berdiri pada 1907. Keistimewaannya, karena arsitektur dan tatanannya yang tidak berubah. Ada gapura di depan halaman dan kolam mengelilingi masjid, dengan jendela yang lebar, persis berada di tepian danau. Guide kami, mengatakan pada 1960-1965, nagari Bancah menjadi salah satu basis gerakan PKI di Maninjau.
Di nagari Maninjau, aku mencari lokasi kediaman dan kelahiran tokoh pendidikan dan emansipasi wanita Hj. Rasuna Said. Beberapa warga sekitar yang kutanya, menunjukkan salah satu rumah tua yang kondisinya tak terurus. Mereka mengakui rumah tua berloteng dan berarsitektur Eropah itu, tempat kelahiran Rasuna Said.
Bangunan itu kini berubah menjadi mushalla, tempat kaum ibu di kampung itu mengaji. Kondisi rumah itu compang camping. Beberapa bagian dinding rumah sudah lepas. Di halaman rumah terpampang tulisan, “rumah ini milik H. Muhammad Said.’ Mungkin yang dimaksud adalah ayah dari tokoh pendidik itu.
Di seberang jalan, ada madrasah ibtidaiyah Hj. Rasuna Said. Namun, warga mengatakan sekolah itu bukan tempat tokoh pendidik itu mengajar. “Sekolahnya yang dulu dipinggir danau sudah hancur dan tak ada lagi,” terang tetangga di sekitar kediaman itu.
Kabarnya, kini hanya ada seorang cucu keluarga Rasuna Said di Maninjau yang menjaga seluruh aset peninggalan pahlawan modernitas wanita itu. Tapi aku tak berhasil menemuinya. Yang kulihat sebelumnya, salah satu dari dua rumah peninggalan keluarga Rasuna Said, di kampung lain, tertulis pamlet ‘rumah ini dijual.’ Rumah tua dibangun 1872 itu, kelihatan megah jika dibanding rumah-rumah disekitarnya. Agaknya, keluarga Rasuna Said, kala itu, dari kalangan terpandang dan kaya.
Sedangkan tempat tinggal Muhammad Nasir setelah pindah dari negeri kelahirannya di nagari Sumpur, Kec. Alahan Panjang, Kab. Solok, kini tak ada lagi. Informasi yang kuterima tapak rumah itu ada di kelokan pertama Maninjau dari kelok 44 menuju Matur. Karena infonya rumah itu sudah tak ada lagi, aku mengurungkan niat melacaknya.
Ternyata, sebagian besar warisan para inspirator dan pembaharu Maninjau itu dalam kondisi nelangsa. Aku terpekur, membayangkan kebesaran jasa mereka di masa lalu, terabaikan oleh perjalanan waktu. Jika sudah demikian nama besar pun tak mampu menolong harta yang tertinggal. Semua akan sirna dan hilang ditelan zaman.
Jam di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul 16.30. Perlahan matahari condong ke Barat, menyinari sebagian sisi perbukitan danau Maninjau. Kami memutuskan kembali pulang ke Galapung. Di perjalanan baru tersadar, keasikan malacak kisah masa lalu sang inspirator dan pembaharu Maninjau itu, membuat kami tak sempat makan siang. Walaupun begitu, aku merasa puas, ketika esok harinya kembali meninggalkan Maninjau, pulang ke kampung kelahiranku. Selamat tinggal Maninjau, jika panjang umur aku akan datang kembali. Abdul Khalik